ZERO : Fermentor Eco-Enzyme Berbasis Internet of Tings

Sampah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh banyak kota di seluruh dunia. Semakin tinggi jumlah penduduk dan aktivitasnya, membuat volume sampah terus meningkat. Akibatnya, untuk mengatasi sampah diperlukan biaya yang tidak sedikit dan lahan yang semakin luas. Pada hakikatnya sampah bukanlah suatu hal yang merugikan bagi manusia, sampah bisa berubah menjadi sesuatu yang bermanfaat jika manusia mengetahui teknik pengolahan yang tepat. Akan tetapi, selama ini masih banyak masyarakat yang menggunakan teknik tradisional dalam mengolah sampah dan kurang ramah dengan lingkungan. Salah satu pengolahan sampah yang sudah sering di buat yaitu eco-enzyme. Eco-enzyme adalah ekstrak cairan yang dihasilkan dari fermentasi sisa sayuran dan buah-buahan dengan substrat gula merah atau molase. Prinsip proses pembuatan eco-enzyme sendiri sebenarnya mirip proses pembuatan kompos, namun ditambahkan air sebagai media pertumbuhan sehingga produk akhir yang diperoleh berupa cairan yang lebih disukai karena lebih mudah digunakan dan mempunyai banyak manfaat. Namun, salah satu kendala yang sering di hadapi yaitu kurangnya monitoring pembuatan eco-enzyme dan wadah yang digunakan sehingga masih banyaknya kegagalan dalam pembuatannya. Solusi yang ditawarkan yaitu fermentor eco-enzyme berbasis internet of things. Fermentor ini terdiri dari Sensor RTC, Sensor Warna tcs3200, Sensor MQ 3, dan Sensor PH. Prinsip kerja alat yaitu apabila sensor RTC mengingatkan waktu fermentasi eco-enzyme telah selesai maka akan kirim notifikasi ke aplikasi blynk, sementara sensor warna mendeteksi warna coklat pada fermentor eco-enzyme maka akan kirim notifikasi ke aplikasi blynk bahwa fermentor hasilnya bagus. Apabila sensor MQ 3 mendeteksi gas alcohol dan sensor PH mendeteksi asam pada bak fermentor

Sampah adalah sisa dari suatu kegiatan manusia yang berwujud padat (baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat terurai dan tidak terurai) dan dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang oleh masyarakat ke lingkungan. Sampah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh banyak kota-kota di seluruh dunia. Semakin tinggi jumlah penduduk dan aktivitas manusia, membuat volume sampah terus-menerus meningkat. Akibatnya, untuk mengatasi sampah diperlukan biaya yang tidak sedikit dan lahan yang luas.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020 Indonesia menempati posisi negara penghasil sampah terbanyak ke dua setelah Cina, KLHK menyebutkan bahwa sumber sampah yang paling dominan berasal dari rumah tangga (48%). Bahwa kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, jumlah timbulan sampah Indonesia pada 2020 mencapai 67,8 juta ton. Dewasa ini, pengelolahan sampah dimasyarakat masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-ofpipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemprosesan akhir sampah. Salah satu sampah yang kurang di manfaatkan yaitu sampah organik (Septiani, dkk. 2011).

Sampah organik adalah limbah dari bahan-bahan organik yang bisa diurai oleh mikroba seperti sisa makanan, sayuran, dan buah-buahan. Sampah organik terdiri atas sampah basah(seperti kulit buah dan sisa sayuran) dan kering(seperti kayu, ranting pohon, daun-daun kering). Sampah tersebut bisa diolah atau didaur ulang kembali menjadi produk fungsional. Salah satu pengolahan sampah organik yang sudah sering dibuat yaitu eco-enzyme.

Eco-enzyme merupakan ekstrak cairan zat organik kompleks yang dihasilkan dari fermentasi sisa sayuran dan buah-buahan dengan substrat gula merah atau

 

molase. Prinsip proses pembuatan eco-enzyme sebenarnya mirip proses pembuatan kompos, namun ditambahkan air secukupnya sebagai media pertumbuhan sehingga produk akhir yang diperoleh berupa cairan supaya lebih mudah digunakan dan mempunyai banyak manfaat. Namun, salah satu kendala yang sering dihadapi oleh masyarakat yaitu kurangnya monitoring pembuatan eco-enzyme dan wadah yang digunakan sehingga masih banyaknya kegagalan dalam pembuatannya. Solusi yang ditawarkan yaitu fermentor eco-enzyme berbasis internet of things.

Inovasi ini dibuat supaya memudahkan masyarakat dalam mengolah sampah organik menjadi eco-enzyme, yang dimana sering terjadi kegagalan karena kurangnya monitoring dalam pembuatan eco-enzyme. Inovasi ini hadir sebagai pemecah permasalahan tersebut.

ZERO : Fermentor Eco-Enzyme merupakan alat untuk membantu kurangnya sampah rumah tangga yang memiliki beberapa keunggulan diantaranya:

  1. Memudahkan masyarakat dalam mengolah sampah organik menjadi eco-enzym
  2. Di lengkapi sensor sensor sehingga dapat mudah untuk fermentasi eco-enzyme
  3. Bekerja secara otomatis sehingga menghemat tenaga

Nama : Zero : Fermentor Eco-Enzyme Berbasis Internet of Tings
Alamat : Jl.Srabi Lor, Ds Getassrabi, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus
No. Telepon : 0882006891557