BAHAN BAKAR PORTABLE SEMI PADAT DARI SAMPAH ORGANIK SEBAGAI SUMBER ENERGI BERKELANJUTAN

Deposit minyak bumi Indonesia yang diproyeksikan tersisa 20 tahun serta permintaan energi bersih yang terus meningkat menjadi latar belakang inovasi "Bionergy" sebagai renewable energy yang potensial. Di sisi lain, meningkatnya populasi di Kabupaten Wonosobo telah menyebabkan lonjakan permintaan makanan yang sebanding dengan peningkatan sampah organik yang dihasilkan. Padahal sampah organik memiliki potensi untuk produksi bioetanol sebagai bahan bakar alternatif yang ekonomis, ramah lingkungan serta berkelanjutan. Komposisi limbah makanan yang terdiri dari karbohidrat (selulosa, pati, hemiselulosa) dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biofuel seperti bioetanol melalui proses fermentasi. Bioetanol padat memiliki keunggulan seperti pembakaran tidak berasap, tidak berbau, tidak berjelaga, lebih tahan lama, lebih aman karena tidak mudah menguap, dan tidak mudah tumpah.  Produk “Bionergy” telah dilakukan uji coba pada skala laboratorium dan telah digunakan/diterapkan sebagai bahan bakar pada kegiatan outdoor seperti camping dan naik gunung. Hasil dari penerapan produk telah menunjukkan bahwa bahan bakar lebih aman dan lebih praktis dalam penggunaannya. Selain itu, produk ini juga bisa digunakan sebagai bahan bakar penghangat makanan pada UMKM di bidang pengolahan makanan dan katering. Konversi limbah makanan menjadi bioetanol diharapkan menjadi solusi ganda untuk energi ramah lingkungan dan terciptanya sustainability serta peningkatan perekonomian masyarakat. Besarnya potensi dari inovasi ini juga diharapkan mampu menciptakan sirkular ekonomi dan mampu menjadi alternatif kemandirian energi untuk masa depan Indonesia yang berkelanjutan dengan tercapainya 4 poin Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030.

Kebutuhan energi dunia meningkat seiring dengan semakin terbatasnya persediaan energi fosil yang selama ini diandalkan. Hal ini didukung oleh fakta bahwa deposit minyak bumi Indonesia tersisa 20 tahun (Ridwan, 2021), sehingga bahan bakar alternatif menjadi hal penting dalam penanganan krisis energi. Selain itu, bahan bakar fosil menyisakan residu yang memberikan dampak pada pencemaran lingkungan dan peningkatan suhu bumi (Tallaksen et al., 2020). Pemerintah telah berhasil mengkonversi pemakaian minyak tanah menjadi pemakaian Liquid Petroleum Gas (LPG) sebagai sumber energi panas untuk memasak. LPG tidak hanya dijumpai pada pemakaian rumah tangga, namun juga sering ditemui pada industri rumah makan siap saji hingga aktivitas di luar ruangan, seperti berkemah dan berwisata. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2018, jumlah warung makan Skala Menengah Besar di Indonesia per tahun 2018 adalah sebanyak 7.680, katering sebanyak 485 dan usaha penyedia makanan dan minuman lainnya sebanyak 2.836 (BPS, 2018). LPG yang merupakan produk bahan bakar yang umumnya berupa gas propana atau butana yang diolah dari sumber gas bumi (Rahmatika et al., 2020), jika terus menerus digunakan secara alami akan habis. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan energi berkelanjutan yang mampu menjawab persoalan ini, salah satunya adalah bioetanol.

Bioetanol merupakan alternatif yang potensial karena bahan bakunya ramah lingkungan, sedikit polusi, dan mudah diperbaharui (Saini et al., 2020). Produksi bioetanol di berbagai negara dilakukan dengan bahan baku yang berasal dari limbah biomassa hasil pertanian dan perkebunan. Hal ini menjadi keuntungan bagi Indonesia mengingat bahan baku untuk produksi bioetanol cukup melimpah (Khatiwada and Silveira, 2017). Selain itu, penggunaan biomassa untuk memproduksi biofuel, seperti etanol terbukti dapat mengurangi emisi CO2 jika dibandingkan dengan produksi bensin (Singh et al., 2020).

Limbah biomassa menjadi bahan yang sangat berpotensi sebagai bahan baku alternatif pembuatan etanol (Arlianti, 2018). Potensi sumber daya biomassa dapat menjadikan Indonesia sebagai pusat energi biomassa dunia (Guitarra, 2022). Selain itu, limbah biomassa belum banyak dimanfaatkan dan menimbulkan pencemaran. Sebagai contoh adalah sampah organik yang dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan karena masih mengandung karbohidrat, protein, lemak, garam mineral dan sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dan pembersihan (Wulansarie et al., 2020).

Bioetanol yang berkembang saat ini merupakan bioetanol dalam bentuk cair. Adapun kebaharuan dari inovasi Bionergy adalah bentuk bioetanol yang berupa fase padat/gel. Kelebihan dari bioetanol semi padat dibandingkan dengan bioetanol cair yaitu selama pembakaran gel tidak berasap, tidak berjelaga, tidak mengemisi gas berbahaya, non karsinogenik, dan non korosif (Hermawan and Sudarmanta, 2018). Bentuk padat juga memudahkan dalam pengemasan dan pendistribusian. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kalor tertinggi 7,50 kJ / 100 gram dan residu 5%. Hasil efisiensi termal 40%, daya 1,1 kW, konsumsi bahan bakar spesifik 94,4 g / kg air (Hermawan and Sudarmanta, 2018). Bioetanol semi padat juga lebih unggul dibandingkan dengan bahan bakar portable jenis lain seperti gas portable, paraffin, dan spirtus. Ketiga bahan bakar portable tersebut tidak lebih ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Selain itu, pembakaran paraffin dan spirtus mengeluarkan bau yang menyengat. Dengan demikian produk bioetanol padat ini layak dan unggul dengan kompetitor di pasaran sebagai bahan bakar portable yang dapat dikembangkan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka "Bionergy" hadir sebagai solusi ganda untuk energi ramah lingkungan dan terciptanya sustainability serta peningkatan perekonomian masyarakat. Besarnya potensi dari inovasi ini juga diharapkan mampu menciptakan sirkular ekonomi dan mampu menjadi alternatif kemandirian energi untuk masa depan Indonesia yang berkelanjutan dengan tercapainya 4 poin Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030.

Produk Bionergy memiliki keunggulan ramah lingkungan karena dibuat dari bahan organik, memanfaatkan limbah yang dapat mengurangi pencemaran lingkungan, aman digunakan, bahan baku mudah ditemukan dan ekonomis. Selain itu, bioetanol padat membantu mengatasi masalah krisis energi sehingga dapat menjadi bahan bakar alternatif. Penelitian menunjukkan nilai kalor tertinggi 7,50 kJ / 100 gram dan residu 5%. Hasil efisiensi termal 40%, daya 1,1 kW, konsumsi bahan bakar spesifik 94,4 g / kg air. Produk Bionergy yang berbentuk semi padat juga memiliki keunggulan seperti selama pembakaran gel tidak berasap, tidak berjelaga, tidak mengemisi gas berbahaya, non karsinogenik, dan non korosif. Selain itu, bentuk padat juga memudahkan dalam pengemasan dan pendistribusian. Bionergy juga lebih unggul dibandingkan dengan bahan bakar portable jenis lain seperti gas portable, paraffin, dan spirtus. Ketiga bahan bakar portable tersebut tidak lebih ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Selain itu, pembakaran paraffin dan spirtus mengeluarkan bau yang menyengat. Dengan demikian produk bioetanol padat ini layak dan unggul dengan kompetitor di pasaran sebagai bahan bakar portable yang dapat dikembangkan.

Nama : Muhamad Mahfud Muzadi
Alamat : Desa Ngadikusuman, Kec. Kertek, Kab. Wonosobo
No. Telepon : 081227179151