STICOZ

Pestisida berdampak negatif pada lingkungan dan komunitas hewan, tumbuhan, dan manusia. Pestisida mencemari udara, air, dan tanah. Dalam tanah, pestisida dapat diserap oleh tanaman dan akar, mencemari air tanah, dan menyebabkan wabah penyakit. Pestisida juga mencemari aliran permukaan seperti sungai, danau, dan waduk, serta berpotensi terakumulasi. Penguapan fotolitik sinar matahari dan angin juga menyebabkan pestisida tersebar di udara dan dapat memperburuk polusi udara. Penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan penyakit kronis pada manusia, kerusakan pada tanaman, dan perubahan warna daun. Residu pestisida dalam tanah dan sisa tanaman mengurangi kesuburan tanah. Untuk mengatasi masalah ini, petani mencari inovasi ramah lingkungan seperti pestisida hayati, seperti pestisida nabati dan mikroba. Namun, penggunaan biopestisida belum populer karena efektivitasnya yang relatif lambat. Salah satu biopestisida yang ramah lingkungan adalah ekoenzim, yang juga berfungsi sebagai pupuk organik dan hayati. Ekoenzim membantu memperbaiki kualitas tanah, memberikan unsur hara tambahan, dan melindungi tanaman dari hama. Dalam penelitian ini, kami mengembangkan pestisida alami menggunakan eco enzim dan daun Ketapang dengan teknologi metabolit sekunder dan antibakteri. Pestisida alami ini diharapkan dapat mengendalikan hama tanpa merusak lingkungan. Ekstrak daun Ketapang mengandung senyawa tanin, flavonoid, serta memiliki aktivitas antibakteri dan antimikroba. Penggunaan pestisida alami seperti ini membantu petani mengurangi penggunaan pestisida kimia yang berbahaya bagi lingkungan.

Sebagai salah satu bahan kimia yang mencemari lingkungan melalui udara, air, atau tanah, penggunaan pestisida dapat berdampak langsung pada komunitas hewan, tumbuhan, dan terutama manusia. Pestisida yang masuk ke lingkungan melalui berbagai proses, baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Input tanah terjadi melalui pola biotransformasi dan bioakumulasi oleh tanaman, proses penyerapan oleh akar, dan input pestisida langsung melalui infiltrasi aliran tanah. Gejala tersebut mempengaruhi kandungan zat dalam sistem air tanah, proses pelindian zat pada tahap degradasi biologi, dan kimia dalam tanah. Kualitas air tanah yang buruk dan kemungkinan wabah penyakit akibat pencemaran air adalah efek langsung dari masukan pestisida ke lingkungan. Aliran permukaan seperti sungai, danau dan waduk yang terkontaminasi pestisida mengalami proses pencemaran, atau biasa disebut dekomposisi polutan. Pada kondisi di atas tingkat tertentu, kontaminan ini dapat terakumulasi dalam komposit.

Pestisida di udara muncul dari proses penguapan fotolitik sinar matahari pada badan air dan tanaman. Selain itu, residu pestisida ke udara disebabkan oleh hembusan, di mana pestisida dibawa oleh angin dan tersebar di udara. Ketika terlalu banyak pestisida menumpuk di udara, pada akhirnya memperburuk polusi udara. Gill dan Garg (2014) menyatakan bahwa pestisida juga dapat mengakibatkan penyakit kronis pada manusia. Selain pada itu masuknya pestisida di udara disebabkan oleh drift yaitu proses penyebaran pestisida ke udara melalui penyemprotan oleh petani yang terbawa angin (Arif 2015). Penghancuran pestisida oleh residu di tanah biasanya diamati pada tingkat kejenuhan karena kandungan pestisida yang tinggi per satuan volume tanah. Nutrisi alami di dalam tanah semakin terkikis, sehingga sulit untuk beregenerasi, meninggalkan tanah asam dan tidak produktif. Residu pestisida ini dapat mencemari keanekaragaman hayati lingkungan baik pada tanah, air, tanaman bahkan terhadap kesehatan manusia (Mahmood, et al., 2016).

Penggunaan pestisida semacam itu memiliki dampak yang sangat serius terhadap ekosistem. Menurut Kusriani et al. (2012) penggunaan pestisida memberikan dampak negatif baik terhadap manusia, biota maupun lingkungan. Sulistiyono (2002) mengungkapkan bahwa meningkatkannya resistensi terhadap ulat (Spodoptera, sp) sebagai hama utama, menyebabkan ledakan Leromyza terhadap penggunaan insektisida yang tidak mengikuti aturan yang ditetapkan untuk tanaman bawang merah.

Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Kawasan Pemungkiman (DPKP) Kalimantan Selatan 2022 mengatakan bahwa apabila pestisida tidak diaplikasikan secara benar maka dapat memberikan pengaruh seperti kerdil, bercak pada daun, buah banyak yang rusak dan juga adanya perubahan warna pada daun tidak hanya disebabkan oleh kurangnya nutrisi pada tanaman tersebut tetapi bisa juga disebabkan karena penggunaan pestisida yang berlebihan serta Bahan kimia yang terserap tanaman dan sisa tanaman yang diuraikan oleh mikroba tanah pun masih akan meninggalkan sisa zat kimia dalam tanah. Lambat laun zat kimia tersebut akan mengurangi kesuburan tanah karena membunuh mikroorganisme bermanfaat serta menghalangi penguraian unsur hara dalam tanah (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2020)

Kondisi perusakan lingkungan seperti itu mendorong petani untuk meningkatkan penggunaan pestisida secara berlebihan atau melakukan inovasi sendiri untuk mendapatkan formulasi pestisida yang sesuai untuk memberantas hama dan penyakit tanaman di dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39/Permentan/SR.330/7/2015. Keracunan pestisida tidak terjadi semata-mata melalui paparan langsung pestisida (pernapasan, penyemprotan, atau kontak dengan residu pestisida) seperti yang diketahui banyak orang. Namun, keracunan juga dapat terjadi ketika orang mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung residu pestisida dalam jumlah yang cukup tinggi dan melebihi batas atas. Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bulan Juli-September tahun 2017 didapatkan keracunan pestisida di Indonesia sebanyak 1 orang (2,56%). Pada buku Pesticide Atlas 2022 terdapat 95 persen dari 385 juta orang jatuh sakit setiap tahun keracunan pestisida (Boedeker, et al., 2020). Residu pestisida pada produk tanaman berasal dari pestisida yang diaplikasikan langsung ke tanaman (untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman).

Pestisida hayati (pestisida nabati dan pestisida mikroba) merupakan salah satu komponen dalam konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang ramah lingkungan. Menurut Schumann dan D’Arcy (2012 dalam Sumartini 2016), pestisida hayati (biopestisida) adalah senyawa organik dan mikroba antagonis yang menghambat atau membunuh hama dan penyakit tanaman. Biopestisida memiliki senyawa organik yang mudah terdegradasi dialam. Namun di Indonesia jarang dijumpai tanaman yang berkhasiat menghambat atau mematikan hama dan penyakit tanaman. Penggunaan biopestisida kurang disukai petani karena efektivitasnya relatif tidak secepat pestisida kimia. Biopestisida cocok untuk pencegahan sebelum terjadi serangan hama dan penyakit (preventif) pada tanaman (Sumartini 2016). Biopestisida saat diaplikasikan, akan membunuh hama dan patogen saat itu juga dan setelah hamanya mati maka residunya akan hilang di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan (Rampe el al, 2019). Saat ini, fungsi dari biopestisida tidak hanya digunakan sebagai pengendali hama, namun ada produk biopestisida yang dapat digunakan sebagai pupuk. Ekoenzim adalah salah satu produk biopestisida yang ramah lingkungan, mudah dibuat, dapat digunakan sebagai pupuk organik dan pupuk hayati. Penggunaan ekoenzim secara berkelanjutan dapat memperbaiki kualitas tanah karena mengandung banyak mikroba pembenah tanah, dapat membantu tanaman memperoleh unsur hara lebih banyak dan melindungi tanaman dari hama. Dengan demikian pencemaran lingkungan karena pupuk dan pestisida dapat dikurangi.

Menurut Imron (2020), eco enzyme merupakan hasil fermentasi dari limbah organik seperti limbah buah dan sayuran, gula (gula aren, gula merah atau gula tebu) dan air. Eco Enzyme berwarna coklat tua dan memiliki bau asam manis yang kuat. Eco enzyme memiliki keunggulan sebagai penyubur tanah dan tanaman, menghilangkan hama, dan meningkatkan kualitas dan rasa buah dan sayuran yang ditanam tanam. Beberapa tanaman yang memiliki kandungan tanin dan flavonoid dapat digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama. Senyawa biologis tersebut (tanin, flavonoid) adalah senyawa metabolit sekunder tanaman yang dapat dimanfaatkan tanaman untuk mengendalikan hama. Metabolit sekunder adalah senyawa yang dihasilkan atau dikeluarkan sebagai adaptasi tanaman pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, termasuk saat ada serangan hama penyakit (Fajarullah et al, 2014). Pada tanaman, senyawa metabolit sekunder memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai atraktan (menarik organisme lain), pertahanan terhadap patogen, perlindungan dan adaptasi terhadap stress lingkungan, pelindung terhadap sinar ultra violet, sebagai zat pengatur tumbuh dan untuk bersaing dengan tanaman lain. Terdapat dua kelompok sumber antioksidan, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami atau yang terkandung dalam bahan alami). Antioksidan alami berasal dari senyawa fenolik seperti golongan flavonoid. Flavonoid adalah golongan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman (Saija et al. 1995). Senyawa ini dapat menjadi racun bagi organisme lain, yang bekerja dengan mengganggu fungsi protein sel. Beberapa metabolit berinteraksi dengan molekul yang memiliki fungsi seluler mendasar, seperti DNA dan protein yang terlibat dalam pembelahan sel (Sirikantaramas et al. 2008). Nofiani (2008) menyebutkan bahwa pembentukan metabolit sekunder diatur oleh nutrisi, penurunan kecepatan pertumbuhan, feedback control, inaktivasi enzim, dan induksi enzim.

Tanaman ketapang catappaL.) merupakan salah satu tanaman anggota suku Combretaceae yang berasal dari Asia Tenggara. Nilai guna dari tanaman ini sangat banyak, salah satunya sebagai antibakteri (Hardhiko et al., 2004). Chee Mun (2003) melaporkan bahwa ekstrak daun Ketapang mengandung senyawa tanin dan flavonoid yang diduga bersifat antibakteri. Pemberian ekstrak ketapang menunjukkan daya hambat pada beberapa bakteri seperti Aeromonas salmonicida, Aeromonas hydrophila, Escherichia colidan Staphylococcus aureu s (Sumino et al., 2013; Rahardjo et al., 2014). Sebagai antibakteri, kandungan metabolit sekunder pada serasah daun-daun Ketapang berpotensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri dari genus Bacillus di akar tanaman.

Perlu adanya inovasi pestisida yang dapat mengendalikan hama namun tetap ramah lingkungan. Kemudian kami kembangkan dalam bentuk pestisida alami yang kami beri nama Sticozda. Sticozda sendiri merupakan pestisida alami yang kami buat dengan menggunakan eco enzim dan daun Ketapang dengan menggunakan tekonologi metabolite sekunder Dan Teknologi Antibakteria Sebagai Solusi 3in1 Terhadap Sikap Pencegahan Pencemaran Lingkungan. Melalui inovasi inilah kami mencoba mewujudkan sikap pro lingkungan yang tercantum dalam psikologi lingkungan, sebagai bentuk upaya kepedulian kami terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin belum disadari masyarakat akibat dampak dari penggunaan pestisida kimia yang berlebihan. Diharapkan inovasi yang kami lahirkan akan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

  1. Terbuat dari bahan alami sehingga aman untuk digunakan dalam jangka waktu panjang serta tidak berpotensi pada pencemaran tanah, lingkungan dan udara.
  2. Bahan baku mudah didapat dan mudah dalam penggunaan.
  3. Mengandung teknologi antibakteria dan metabolite sekunder sehingga memperoleh hasil panen yang berkualitas dan aman dari paparan residu pestisida.

Nama : Riski Rahmad Ramadhani
Alamat : Jl. Gondangmanis Bae Kudus Kab. Kudus 59327 Jawa Tengah ; Telepon. 0291-438229 ; Fax. 0291-437198 ; Email. muria@umk.ac.id ; Website. umk.ac.id/
No. Telepon : +62 853?2541?5048